Ini adalah novel paling tebal yang pernah aku baca (MUNGKIN) . Jumlah halamannya sekitar 455 halaman. Namun begitu, novel ini sama sekali tidak membuat para pembacanya jenuh untuk membaca halaman demi halaman cerita dalam novel ini. Bahkan membuat aku penasaran dan sulit berhenti, kecuali jika ada hal yang penting.Novel ini bercerita tentang seorang murid SMA bernama Haydar beserta 2 orang gadis yang kemudian menjadi takdirnya, Salma dan Lexa. Sebuah cinta segitiga yang dialami anak-anak remaja namun berakhir dengan indah.
Jika kita membaca sekilas alur cerintanya, pasti kita akan berfikir bahwa novel ini mirip dengan novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy. Tapi tidak sepenuhnya. Karena ketika membacanya kita akan menemukan banyak hal yang berbeda. Kita tidak akan menemukan sosok seperti Fahri yang sangat sempurna dan sangat taat. Melainkan sosok Haydar Ali Said seorang anak SMA yang masih nakal, anak band, humoris namun tetap religius. Kemiripan akan kita temukan pada sosok pemeran wanita, Lexa dan Salma. Salma mirip denga sosok Aisha, dan Lexa mirip dengan Maria. Namun tetap saja ada hal yang berbeda, Misalnya latar belakang Lexa yang berasal dari keluarga yang berantakan. Perbedaan lain juga kita temukan pada setting cerita yang bertempat di Kota Semarang, berbeda dengan novel Ayat-ayat Cinta yang bernafaskan timur tengah.
Aku mendapatkan banyak sekali pelajaran dari novel ini, sampai aku lupa dan harus mengingat-ngingatnya dulu. Penulis menyisipkan banyak sekali pesan moral melalui alur cerita yang kadang kala lucu dan menyentuh, hingga pembacanya menitikkan air mata, termasuk aku.
Pertama, tentang kebaktian seorang anak kepada ibunya. Pada bab 19, halaman 253. Ketika sebuah puisi dalam jam pelajaran bahasa inggris menyadarkan Haydar akan arti seorang ibu. Bagaimana seorang anak sering lupa akan keberadaan ibunya dan lebih mementingkan teman-temannya, bahkan pacarnya daripada ibunya sendiri. Saat itu juga Haydar menyiapkan sebuah kado ulang tahun untuk ibunya, walaupun uang itu akan ia gunakan untuk mengganti handphonenya yang telah rusak. Sesuatu yang jarang seorang anak lakukan pada ibunya.
Kedua, tentang kerja keras. Sebenarnya Haydar bukan berasal dari keluarga yang miskin. Tapi hanya karena ia ingin belajar bekerja keras dan meringankan beban ibunya yang sudah menjanda, ia bekerja sebagai loper Koran sebelum ia berangkat sekolah. Begitu juga dengan hobinya menulis. Walaupun tulisan yang ia kirimkan selalu ditolak, ia tetap tidak menyerah walaupun ia sampai jatuh sakit. Ia hanya yakin akan sebuah kata bijak yang ia tempel di kamarnya, bahwa “Akan ada satu keberhasilan diantara seribu kegagalan”. Walaupun akhirnya ia sempat merasa putus asa, saat itulah ia mendapatkan keberhasilan ketika novelnya dijadikan cerbung dalam sebuah Koran lokal. Sebuah pelajaran bagi kita untuk tidak mudah menyerah untuk menggapai cita-cita dan terus berusaha.
Ketiga, tentang arti sebuah persahabatan. Penulis menyajikan sebuah cerita persahabatan yang konyol dan menyentuh. Sebuah cerita persahabatan yang indah kala SMA. Novel ini mengajarkan kita bagaimana mengikat tali persahabatan sesama teman. Misalnya dengan saling memberi kado saat ulang tahun, dan surprise-surprise lainnya. Ketika Haydar terluka dan ingin balas dendam, teman-temannya tidak sungkan membantunya, bahkan ketika mereka harus masuk bui bersama, mereka tidak saling menyalahkan tapi saling berpelukan dan memberi semangat. Disinilah kita belajar ikhlas, saling menerima, dan setia kawan. That’s a beautiful friendship… .
Keempat, tentang bagaimana seharusnya seseorang menyingkapi cinta. Ketika Haydar sangat mencintai Salma, ia hanya bisa melihatnya dari jauh dan mencoba menjaganya semampu yang ia bisa, tanpa berharap apapun untuk menjaga kesucian cintanya. Begitu juga dengan Salma dan Lexa yang sama-sama mencintai Haydar, mereka tetap mampu menjaga hati mereka dari cinta yang belum saatnya. Disini kita diajarkan bagaimana seharusnya menyingkapi cinta yang sesungguhnya, dengan sebenar-benarnya. Agar cinta yang kita jalani menjadi cinta yang berkah dan berpahala.
Kelima, tentang semangat untuk tidak menyerah pada takdir. Lexa adalah seorang gadis yang berasal dari keluarga yang berantakan. Ayahnya telah meninggalkannya sejak ia kecil. Masa lalunya pun suram. Ia sering disakiti dan dianiaya oleh ayahnya. Tapi itu tak membuatnya berkecil hati. Ia tetap bisa menjadi juara di berbagai mata lomba, bahkan menjadi juara umum. Dari situlah kita belajar untuk tidak menyerah pada takdir dan tetap survive dengan mengembangkan potensi yang kita miliki, walau sepahit apapun cobaan menerpa kita. Kita tetap bisa menjadi bintang, seterang bintang yang menyinari gelapnya malam …
Terakhir, tentang keikhlasan. Ada sebuah kalimat yang bagiku sangat menyentuh. Ketika Lexa akhirnya diperkosa dan berbicara dengan Haydar sambil terisak, Haydar berkata “Please, jangan bunuh aku dengan dengan kata-kata itu. Aku sakit mendengarnya. Hentikanlah kata-kata itu. Kamu masih bersih, suci….seperti bulir salju yang masih turun. Seperti mutiara yang belum tersentuh. Seperti mata air paling bening di hutan yang paling dalam. Kamu masih suci. Kamu masih Putri Saljuku…”. Bahkan seketika itu juga Haydar melamar Lexa yang masih terbaring di Rumah Sakit. (So Sweeettt banget ga sih..) Sesuatu yang mungkin tidak akan dilakukan oleh laki-laki lain. Tapi disini, kita belajar ikhlas. Dari Haydar yang menerima Lexa apa adanya, dan dari Lexa yang rela berbagi suami dengan Salma yang sama-sama mencintai Haydar. Kenyataan memang tak selamanya manis, selalu terselip kepahitan didalamnya. Dan disanalah kita belajar arti keikhlasan…
Setidaknya, keenam hal itulah yang aku pelajari dari novel ini. Sama seperti jumlah rukun iman yang biasa aku hafal semasa TK. Setiap pelajaran itu aku dapat melalui alur cerita yang lucu, unik dan menyentuh.
Selain itu, novel ini juga bisa dijadikan ajang berlatih bahasa inggris dan bahasa jawa dalam beberapa dialog disertai dengan artinya. Sehingga pembaca tidak kesulitan untuk mengikuti alur cerita. Novel ini juga banyak berisi guyonan-guyonan yang terkesan nakal tapi menyegarkan. Misalnya kata boksi (bokong seksi) dan boby (bokong biadab) yang dibalut dalam dialog yang konyol dan mengundang tawa pembaca.
Penulis juga pandai menyembunyikan the real story dan membuat teka-teki sehingga membuat pembaca penasaran dan semakin ingin membaca. Misalnya ketika Haydar dilarikan ke Rumah Sakit setelah ditusuk oleh Ariel Cs, penulis hanya menyebutkan bahwa yang menyelamatkan Haydar adalah seorang laki-laki. Hal inilah yang membuat pembaca bertanya-tanya siapa sebenarnya laki-laki itu. Dan setelah bercerita kesana kemari, barulah penulis menyingkap cerita yang sebenarnya dengan sejelas-jelasnya.
Walaupun novel ini punya beberapa kesamaan dengan AAC, tapi novel ini juga tetap mempunyai ciri khas. Yaitu pada kemasan ceritanya yang masih remaja banget, namun tetap tidak meninggalkan sisi agamisnya. Sehingga cocok dibaca oleh pecinta novel remaja. Lain halnya dengan novel AAC yang terkesan lebih dewasa dan sangat religius.
Akan sangat sulit jika harus membandingkan dua novel yang sama hebatnya. “Ayat-ayat Cinta” karya Habiburrahman El-Shirazy dan “Bismillah, ini tentang cinta” karya Ali Imron El-Shirazy. Apalagi mereka berdua kakak beradik. Keduanya sama-sama memiliki kemampuan yang hebat untuk memikat para pembaca novelnya.
Jika dinilai dari segi alur cerita, aku lebih menyukai karya kang Ali, karena terkesan kocak dan lebih menghibur. Sedangkan kalau dinilai dari segi agama dan kedewasaan, maka novel Ayat-ayat Cintalah yang lebih unggul. Jadi menurutku tidak ada yang lebih buruk dan lebih jelek diantara keduanya. Karena masing-masing memiliki keunggulan tersendiri. Dan yang jelas, I like this novel so much!!
0 komentar:
Posting Komentar